Pada hari Selasa, 16 September 2025, sesi disampaikan oleh Dr. Aisling Ward sebagai salah satu peneliti di MTU dan dimoderatori oleh Anis Qomariyah, S.A.B., M.Ling. Dr. Aisling berbagi pengetahuannya tentang strategi regeneratif untuk usaha pariwisata kecil. Ia mendefinisikan apa itu pariwisata regeneratif dan mengapa kita perlu beralih dari keberlanjutan ke regenerasi. Kemudian ia menjelaskan fitur-fitur diagram pariwisata regeneratif yang berfokus pada setiap aspek yang terlibat. Ia menyebutkan tahapan dalam menerapkan pendekatan regeneratif, salah satunya adalah melibatkan komunitas lokal.
Ia juga membahas pergeseran pola pikir dalam mengubah cara kita mengukur dampak pariwisata. Pariwisata tradisional sering menggunakan indikator berbasis volume sebagai metrik kesuksesan, sementara pariwisata regeneratif mendorong kita untuk menggeser indikator tersebut berdasarkan nilai-nilai jangka panjang. Dr. Aisling memberikan contoh konkret seperti Bay of Plenty, Selandia Baru. Fokus mereka tidak hanya pada keberlanjutan, tetapi juga pada pemulihan lingkungan, pemberdayaan komunitas lokal, dan pelestarian budaya M?ori.
Diskusi selanjutnya membahas bagaimana sebuah bisnis dapat berkembang dengan menciptakan kondisi bagi komunitas, pengunjung, penduduk, dan lingkungan untuk tumbuh, serta beberapa proyek penelitian yang baru saja diselesaikan, disebut “Circular Economy For Regenerative Tourism (CE4RT)”. Proyek ini berfokus pada pendukung 80 UKM pariwisata di lima negara Eropa, termasuk Irlandia.
Beberapa pertanyaan penting diajukan selama sesi untuk merangsang refleksi yang lebih mendalam. Dalam hal proyek berkelanjutan, dipertanyakan tanggung jawab mengenai siapa yang harus dianggap sebagai penggerak lokal untuk memastikan bahwa inisiatif tetap berlanjut setelah dukungan eksternal ditarik. Dalam konteks Afrika, dipertimbangkan bagaimana generifikasi budaya dan migrasi keluar pemuda dapat diatasi melalui pendekatan regeneratif dalam pariwisata, dan perspektif apa yang dapat ditawarkan mengenai hal ini.
Perhatian juga ditujukan pada tantangan mengukur aspek tidak berwujud dari regenerasi. Mengingat banyak indikator berbasis nilai dalam pariwisata regeneratif—seperti rasa memiliki terhadap tempat, vitalitas budaya, dan pemberdayaan komunitas—pada dasarnya sulit untuk diukur, dipertanyakan bagaimana hal-hal ini dapat diintegrasikan secara bermakna ke dalam kerangka perencanaan dan evaluasi, tanpa mengurangi menjadi metrik yang terlalu disederhanakan.
Akhirnya, isu praktik pariwisata degeneratif disoroti. Baik pembicara maupun peserta diundang untuk memberikan perspektif mengenai praktik semacam ini, dan tindakan apa yang diperlukan baik secara lokal maupun global untuk menanganinya agar pariwisata berkontribusi pada regenerasi daripada penipisan.

