Pada sesi keenam, Professor Bulan Prabawani, dosen Universitas Diponegoro, memimpin sesi dengan dibantu moderator Gilda Maulina, juga dosen Universitas Diponegoro. Sesi ini menantang audiens untuk melampaui pendekatan “tidak merugikan” dari pariwisata berkelanjutan menuju model yang secara aktif memulihkan dan meningkatkan kesejahteraan destinasi. Professor Bulan mendefinisikan pariwisata regeneratif sebagai pendekatan holistik yang dipimpin komunitas dan berfokus pada pencapaian dampak bersih positif, meninggalkan lingkungan dan masyarakat dalam kondisi lebih baik daripada sebelumnya.

Presentasi ini memberikan gambaran evolusi yang jelas dari pariwisata bertanggung jawab, yang menekankan etika individu, menuju pariwisata berkelanjutan, yang diatur oleh kebijakan yang lebih luas, dan akhirnya ke pariwisata regeneratif, yang dicirikan oleh inisiatif yang dipimpin komunitas dan restorasi ekologis, seperti yang terlihat di Desa Ekowisata Mangrove Bedono di Jawa Tengah. Inti dari sesi ini adalah kerangka kerja praktis tentang alat dan indikator yang dirancang untuk mengukur dampak transformatif ini. Professor Bulan merinci pendekatan multi-dimensi, meliputi Layanan Ekosistem, Pergeseran Paradigma, dan Indikator Multidimensi, dengan menggunakan metode seperti Analisis Biaya-Manfaat (CBA), Social Return on Investment (SROI), dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Hal ini diilustrasikan melalui studi kasus Restorasi Ekosistem Mangrove di Desa Tambakbulusan, dimana Indeks Nilai Bersih Regeneratif (RNV) yang dihitung sebesar 2,37 menunjukkan hasil positif yang terukur bagi masyarakat.

Materi yang berwawasan ini memicu diskusi yang aktif, dengan beberapa peserta mengajukan pertanyaan. Teges Ratna dari Edinburgh Napier University mengajukan pertanyaan yang menghubungkan topik dengan penelitian mereka tentang ekonomi sirkular. Menanggapi hal tersebut, Professor Bulan memposisikan pariwisata regeneratif dan ekonomi sirkular sebagai kerangka kerja yang saling melengkapi, dengan mencatat bahwa pariwisata regeneratif dapat menjadi wadah yang efektif untuk menerapkan prinsip-prinsip sirkular dalam suatu destinasi. Menanggapi pertanyaan tentang kepraktisan alat-alat tersebut, ia mengonfirmasi adaptabilitasnya untuk pariwisata desa, dengan metode seperti PRA dan metrik SMART yang particularly mudah diakses. Tidak hanya itu, pada pertanyaan tentang pemerintah, dicatat bahwa meskipun belum terstandarisasi, metodologi yang mendasarinya semakin banyak digunakan dalam proyek-proyek di seluruh Indonesia, menunjukkan daya tarik yang semakin besar dan jalur yang jelas menuju adopsi formal seiring dengan semakin momentum paradigma regeneratif. Sesi ini ditutup dengan nada optimis, memberdayakan peserta dengan pengetahuan bahwa pariwisata dapat menjadi kekuatan nyata untuk regenerasi.

 

You cannot copy content of this page