Sesi pertama dimoderatori oleh Ardy Wibowo, M.BA sebagai dosen di Departemen Administrasi Bisnis Universitas Diponegoro. Sesi yang disampaikan oleh Dr. Anna Spenceley sebagai mantan ketua IUCN WCP TAPAS Group menyoroti 3 transisi utama terminologi dari Sustainable Tourism, Responsible Tourism, hingga Regenerative Tourism.

Dr. Anna Spenceley menyampaikan presentasi yang penuh wawasan tentang lanskap yang berkembang dan pergeseran dari sustainable tourism (meminimalkan dampak negatif) ke responsible tourism (secara aktif meningkatkan komunitas dan destinasi) dan kini menuju regenerative tourism, yang bertujuan untuk memulihkan ekosistem dan meninggalkan dampak positif bersih.

Dr. Spenceley menggambarkan konsep-konsep ini dengan contoh nyata, seperti Phinda Private Game Reserve di Afrika Selatan, di mana pendapatan dari pariwisata diinvestasikan kembali ke dalam proyek komunitas dan upaya konservasi, seperti program anti-perburuan, restorasi habitat, dan reintroduksi spesies (misalnya badak hitam dan cheetah). Kawasan ini juga bekerja sama erat dengan komunitas Zulu setempat untuk mendukung pendidikan, layanan kesehatan, dan inisiatif mata pencaharian. Contoh lainnya adalah Chumbe Island Coral Park (CHICOP) di Tanzania. Eco-lodge di pulau tersebut sepenuhnya menggunakan tenaga surya, memanfaatkan penampungan air hujan, serta menerapkan toilet kompos dan filtrasi air limbah abu-abu. Pendapatan dari pariwisata diinvestasikan kembali ke dalam pengelolaan konservasi, pendidikan lingkungan bagi sekolah-sekolah lokal, serta program pelatihan bagi nelayan dan komunitas setempat. Dengan demikian, mereka tidak hanya meminimalkan kerusakan tetapi secara aktif memulihkan dan melindungi ekosistem sekaligus mendukung mata pencaharian lokal. Kisah-kisah ini menunjukkan bagaimana pariwisata dapat berkembang menjadi penggerak pembaruan sosial dan ekologis.

Tema kunci lain dalam presentasinya adalah meningkatnya “klaim hijau” dan risiko greenwashing dalam pariwisata. Dr. Spenceley menyoroti regulasi yang akan datang seperti EU Green Claims Directive, yang akan mengharuskan bisnis menyediakan bukti yang diverifikasi secara independen dan didukung secara ilmiah sebelum memasarkan diri mereka sebagai “berkelanjutan” atau “regeneratif.” Legislasi ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan kredibilitas, memastikan bahwa wisatawan dapat mempercayai klaim yang dibuat oleh operator pariwisata.

Dalam diskusi, muncul beberapa pertanyaan mengenai bagaimana pariwisata regeneratif berbeda dari pariwisata berkelanjutan, kemudian ia menjelaskan bahwa model berkelanjutan berfokus pada “melakukan lebih sedikit kerusakan,” sementara pariwisata regeneratif berupaya untuk memulihkan dan meningkatkan ekosistem serta komunitas. Lebih lanjut, ketika ia ditanya oleh peserta mengenai bagaimana wisatawan dapat mendukung pariwisata regeneratif, ia menyarankan pentingnya membuat pilihan sadar seperti terlibat dalam pengalaman pariwisata berbasis komunitas, berkontribusi pada proyek konservasi, dan memilih opsi perjalanan yang memberikan dampak positif bagi alam maupun masyarakat lokal.

Melalui presentasinya, Dr. Spenceley menekankan urgensi untuk melampaui “bisnis seperti biasa” dalam pariwisata. Pergeseran menuju praktik regeneratif memerlukan perubahan pola pikir dan tindakan, memastikan bahwa pariwisata tidak hanya mempertahankan tetapi secara aktif memelihara tempat dan orang-orang yang disentuhnya.

You cannot copy content of this page